Menelusuri Pelacuran ABG di Sejumlah Kota surabaya


Surabaya – Jawa Timur
Anak 'Bau Kencur' di Segi Tiga Emas Surabaya
GINCUNYA tidak terlalu tebal. Ia sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia berusaha tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, ketika lampu mobil menyorot ke arahnya. Gadis 'bau kencur' itu mundur beberapa langkah begitu mobil berhenti di dekatnya. Dan posisinya diganti seorang pria.

Siapa pria itu. Jangan terlalu cemas, itu adalah 'negosiator'. Di kawasan yang terkenal dengan sebutan 'segi tiga emas' Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh setiap malam pemandangan seperti itu merupakan hal biasa. Di kawasan itu, setiap hari mulai pukul 18.00 para ABG (anak baru gede) mulai pasang aksi.

Untuk bisa 'menggaet' ABG di Surabaya memang gampang-gampang susah. Untuk yang memakai mobil pribadi, tidak sulit. Dengan, sekali tekan klakson, mereka akan mendekat dan menawarkan diri. Masalah tarif bisa dibicarakan sambil berjalan, kalau tidak cocok, bisa dikembalikan ke tempat di mana mereka mangkal. Atau melakukan tawar-menawar melalui 'negosiator' alias germo.

Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki mobil pribadi, dengan taksi saja sudah bisa asalkan jangan berdua. Harus sendiri. Apalagi, memakai sepeda motor, mereka akan menolak secara tegas. Itu yang dialami Media ketika mendekati mereka sambil mengendarai sepeda motor.

Seorang penjual minuman yang mangkal di Jl Pemuda, langsung memperingatkan. "Kalau mau booking ABG, jangan sekali-kali ada dua pria dalam taksi itu, atau sepeda motor, mereka tidak mau, malah lari," katanya.

Pernah ada ABG yang dibawa oleh dua orang, ternyata di tengah jalan seluruh perhiasannya dipreteli, termasuk uangnya. Sejak, kejadian itu mereka sangat hati-hati.

Media kemudian, seorang diri mencarter taksi sambil menelusuri kawasan 'segi tiga emas' itu. Saat di Jl Tais Nasution, taksi melaju pela-pelan. Para ABG yang berjejer mulai tampak senyum-senyum, sambil memainkan tulunjuknya yang ditempel di pipi.

Begitu melihat di dalam taksi hanya satu orang dan mobil berhenti, mereka kemudian melangkah mundur. Dan tampil seorang pria yang berpakaian sangat rapi.

Pria itu membungkuk ke jendela mobil, "Malam Bos, cari cewek. Tinggal pilih," kata germo itu sambil menyebutkan nama-nama ABG yang ada dalam 'genggamannya'.

Ia menunjuk, "Yang pakai kaus putih, umurnya baru 16 tahun, sedangkan yang kaus hitam umurnya 19 tahun. Tinggal pilih, mana yang suka," ujar pemuda yang mengaku bernama Teddy.
"Berapa tarifnya,"tanya Media. "Di kawasan sini sudah biasa, antara Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Untuk short time, selama tiga jam. Selebihnya, silahkan bos yang transaksi dengan ceweknya. Yang, jelas kita pasang tarif itu," katanya.

Apa boleh ditawar. Tentu saja, bisa, tarif yang dipatok tidak mutlak, tapi bisa ditawar. Asalkan, jangan sampai Rp 100 ribu, pasti tidak akan digubris.

Transaksi biasanya tidak bisa langsung OK, tapi harus melalui proses. Pada saat itu, GM (panggilan khusus untuk negosiator) memanggil cewek yang dimaksud agar masuk lebih dulu ke dalam mobil. Tujuannya, tidak lain agar konsumen tahu wajah dan panampilannya. "Biasanya di jalan, waktunya sangat sempit, maka ceweknya diperintahkan masuk dulu. Biar, Bos tahu saja,"kata Teddy.

Jika tidak berkenan, mereka juga tidak kecewa.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Jl Embong Sawo, tidak jauh dari Jl Pemuda, hanya sekitar 50 meter. Di tempat ini, tampak dua ABG duduk di atas sepeda motor, sambil menghisap rokok. Keduanya, tidak langsung mendatangi mobil. Tapi, germo yang menghampiri begitu jendela mobil terbuka. Kalimat pertama yang keluar adalah, "Malam. Cari cewek," katanya. "Maaf, tinggal dua ABG, lainya sudah di-booking orang. Tapi, saya jamin tidak rewel. Siap, main dalam bentuk apa pun juga," ujarnya setengah memaksa.

Di kawasan Jl Embong Sawu ini tarifnya memang agak sedikit mahal dibandingkan dengan ABG di Jl Tais Nasution. Yang membedakan karena di kawasan itu ABG-nya benar-benar masih 'bau kencur'. Untuk tiga jam, mereka pasang tarif Rp 200 ribu. Memang, bisa ditawar tapi tetap saja tidak boleh di bawah Rp 150 ribu.

"Jangan disamakan dengan yang lain. Cewek di sini memiliki ketangguhan dalam hal servis," ujar sang germo. Tanpa menyebut, jenis ketangguhan yang dimaksud.

Di Jl Simpang Dukuh memang lebih ramai dibandingkan tempat mangkal lainnya karena terdapat diskotek. Selain itu, tidak ada penerangan jalan yang menyebabkan anak-anak baru gede itu tidak malu-malu menawarkan diri kepada 'konsumen' yang kebetulan lewat di tempat tersebut. Di kawasan ini, mereka agak jual mahal. Tidak sembarangan mau diajak.

"Cewek di sini memang jual mahal, Mas. Kalau, orangnya itu tidak bermata sipit, jarang yang mau. Tapi, kalau punya mata sipit dan bermobil, langsung tancap," kata seorang pedagang yang biasa menjadi tempat mangkal ABG.

Seperti kawasan lainya, peran germo sangat dominan. Ini tidak lain, karena sikap malu-malu yang ditunjukkan para ABG tersebut. Ketika, Media melewati kawasan itu, sejumlah ABG hanya bergerombol, sepertinya mereka tidak terlalu peduli terhadap 'tamu' yang datang.

"Silakan pilih sendiri. Ini namanya Hana dan ini namanya Yeni. Dua-duanya ABG tulen," kata germo bernama Sandy. Untuk meyakinkan konsumen, mereka tidak malu-malu menyebut bahwa keduanya bisa diajak 'karaoke' istilah oral seks di kalangan ABG.

Tarifnya tidak jauh beda dengan ABG yang mangkal di kawasan lainya, yakni Rp 150 ribu. Bahkan, kalau pandai menawar bisa turun hanya Rp Rp 125 ribu untuk tiga jam pemakaian. Kalau mau nambah bisa dikalikan sendiri.

Tapi di kawasan ini harus ekstrahati-hati, germo sering main paksa. Kendati hanya sekadar minta uang rokok, tapi biasanya memanfaatkan ABG dengan menyebutkan bahwa 'anak asuhnya' itu punya utang.

Seperti yang dialami Media, seorang germo mengatakan kepada salah satu ABG, "Han, kamu kan punya utang sama saya Rp 15 ribu, bagaimana kalau Bos ini yang bayar, tidak apa-apa kan," kata Sandy. Ketika disodorkan uang Rp 20 ribu, germo itu mengatakan, "Terima kasih Bos, silakan nikmati malam minggunya.".

Germo di Jl Tais Nasution, paling sedikit memiliki lima 'anak asuh', dan paling banyak 20 orang. Mereka selalu membawa foto 'anak asuh' dalam berbagai pose.

Mereka sebagian besar dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika ditanya, mereka tidak sungkan-sungkan menyebut nama SLTA tempat mereka sekolah atau menyebutkan nama perguruan tingginya bagi yang mahasiswi.

'Kalau Saya Suka, Gratis pun Jadi'

"KALAU saya suka, gratis pun jadi," kata Hana. Gadis manis yang tahun lalu lulus sebuah SLTP di Probolinggo itu akan sangat senang bila bertemu dengan pria ganteng.
Ukuran ganteng bagi Hana tidak ada standar khusus, misalnya tinggi besar, atletis, berkumis atau lain sebagainya, "Pokoknya ganteng dan saya suka. Oke," ujarnya sambil tersenyum.

"Tapi biarpun uangnya satu karung, kalau saya tidak suka, ya saya enggak mau," katanya.

Sudah berkali-kali ia tidak mau menerima bayaran dari pria ganteng yang disukai. Yang paling melekat di hatinya, adalah seorang pria ganteng dari Indonesia timur.

Ia terjun ke dunia 'hitam' bukan hanya karena persoalan ekonomi. Tapi lebih pada kebebasan dan kepuasan bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Dia percaya betul bahwa bergaul dengan banyak orang, akan memperoleh segala-galanya. "Kesenangan itu adalah segala-galanya," katanya.

Dan yang paling penting, "Saya bisa senang-senang," katanya. Hana mengaku kenal dengan banyak wartawan. Bahkan yang menjadi germonya di Jl Tais Nasution itu adalah seorang wartawan. Ia tidak bersedia menyebutkan nama media tempat germonya bekerja.

Hana tidak bersedia diajak pergi terlalu jauh dari pangkalannya, "Saya lebih senang diajak ke Pinang Inn," ujarnya. Ia menyebut nama sebuah hotel tempat biasa mengajak teman kencannya chek in. Ia tidak mau terlalu jauh, karena sudah harus di rumahnya kembali paling telat pulul 23.00.

Di Surabaya cukup banyak hotel yang sudah dikenal oleh ABG, antara lain Hotel Pinang Inn (Jl Dinoyo), Hotel Puspa Asri (Jl Kenjeran), Hotel Malibu (Jl Ngagel), Hotel Pondok Hijau (di kawasan Bukit Darmo Golf Surabaya).

Para sopir taksi juga sudah hafal betul nama-nama hotel tersebut. Sekali sebut saja, pasti tidak akan salah alamat. Biasanya, tarif hotel untuk enam jam pertama yakni Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu, dengan fasilitas sebuah televisi, kulkas, dan air hangat.

ABG jalanan ternyata bersaing dengan ABG yang sudah tersedia di hotel-hotel. Seperti di Pinang Inn, misalnya, begitu mobil masuk ke lapangan parkir, seorang petugas langsung berkata, "Lain kali kalau ke sini, tidak perlu bawa pasangan, di sini banyak." Ia menawarkan beberapa SPG (sales promotion girl) yang biasa bekerja di pertokoan elite.

Ia juga bercerita soal tanda-tanda kamar hotel sedang kosong atau penuh. Jika, tampak tertutup, berarti kamar sedang terpakai, jika terbuka berarti kosong.

Lalu siapa saja yang pernah masuk kamar hotel bersama Hana? Ia menyebut sejumlah nama. Tapi yang paling berkesan adalah ketika berkencan dengan anak pejabat Pertamina dari Jakarta. ''Enak. Dia royal dan ganteng," kata Hana.

Hana mengaku terjun ke dunia 'hitam', karena dikhianati pacar. Sejak SLTP dia memang sudah mengenal hubungan seks, yang dilakukan pertama kali bersama pacarnya. Tapi sang pacar berkhianat, "Sejak itu saya menjadi petualang cinta. Dari pelukan lelaki satu ke lelaki lain. Saya tidak tahu, sampai kapan saya bisa selesai," ujarnya.

Menurut Hana, teman-temannya sesama ABG tidak pernah takut dengan ganasnya virus AIDS. Mereka tidak teralu suka jika teman kencannya menggunakan kondom.

Hal itu dibenarkan oleh Rika, ABG yang mengaku masih sekolah di kawasan, Jl Arjuno, Surabaya. Rika selalu menelan antibiotik jika, akan berkencan seorang pria, siapa pun dia. Selain itu, dirinya juga selalu rajin suntik untuk menghindari kehamilan.

"Saya juga punya dokter pribadi, yang setiap saat memeriksa kesehatan saya. Jadi, jangan khawatir kalau saya terkena penyakit,'' kata Rika yang mengaku terjun menjadi pelacur karena diperkosa kakak iparnya.

Rika selalu membatasi jumlah teman kencannya. Setiap, malam dia mengaku hanya melayani satu orang, "Kalau lebih dari satu orang, capeknya setengah mati," kata Rika.

Tentu saja, karena setiap kali kencan dia 'habis-habisan', "Tenaga saya hampir tidak tersisa. Ya, dia puas, saya puas. Selain itu dapat uang. Untungnya dua kali, puas dan dapat uang," ujar Rika.
Rika mengaku, di antara para ABG di Surabaya, kalau bicara soal gaya seks, dialah jagonya. Hampir semua gaya dia kuasai. Itu didapat dari film biru dan bacaan-bacaan tentang seks.
"Jualan itu yang penting bukan isinya, tapi kemasan dan modelnya. Saya siap dengan model apa pun. Bahkan sering kali saya mengajarkan tamu tentang gaya-gaya yang belum dikenal. Biasanya dia puas dan akan mencari saya lagi," ujarnya.

Kendati sudah habis-habisan, banyak juga pria hidung belang yang permintaannya aneh-aneh. "Ya ini ya itu, pokoknya kita ini harus siap, diapakan saja. Asalkan, satu, jangan sampai lewat ini," kata Rika sambil menunjuk pantatnya.

Rika sudah memahami betul bahwa menjadi ABG jalanan harus siap menghadapi risiko apa pun. Termasuk, jika tamu yang dihadapai adalah hiperseks. Rika mengaku pernah dibawa seorang pengusaha properti dari Jakarta. Awalnya, memang biasa-biasa saja. Bahkan sangat romantis.
Tapi, setelah di kamar teryata orang itu hiperseks. Ia diminta melayani sampai pagi, padahal saat itu waktu yang diberikan hanya tiga jam. Awalnya, dia tidak mau, tapi setelah dijanjikan bayaran yang berlipat-lipat, Rika langsung setuju.

"Begitu selesai badan saya rasanya seperti patah-patah. Pokoknya, saya kapok melayani pria hiperseks,'' kata Rika. Dari pengusaha properti itu dia mendapat bayaran Rp 1 juta.

Rika mengaku, dia diperlakukan seperti bukan manusia. Pria tersebut seperti tidak pernah merasa letih. "Saya kewalahan betul melayaninya. Awalnya sih enak, karena dia pandai sekali. Tapi lama-lama saya jadi tidak sanggup melayaninya."

Oleh Rika, cerita soal pria hiperseks kemudian menyebar ke hampir setiap ABG di Surabaya. Jadi mereka sangat takut berhubungan dengan pria semacam itu.

Hal lain lagi yang ditakuti mereka adalah operasi petugas kepolisian. Untuk mengelabui petugas, meraka selalu berpakaian sangat sopan. Tidak pernah menggunakan rok mini atau baju yang menonjolkan bagian dada.

Selain itu, untuk menghindari kejaran polisi, para germo dan ABG sudah membuat jaringan yang cukup rapi. Antara lain dengan cara menjalin hubungan khusus dengan petugas. Biasanya begitu akan ada razia, si petugas itu akan memberi tahu mereka.

Malang – Jawa Timur.
SISI namanya. Berusia 19 tahun. Anak seorang pengusaha terkenal di Malang dan pengurus salah satu cabang olahraga. Hampir setiap hari nama ayahnya muncul di surat kabar.

Gadis cantik, yang namanya minta dituliskan persis seperti yang tertera di KTP-nya, adalah salah satu ABG 'papan atas' di Malang. Bila 'turun' ke jalan, ia biasa disapa dengan nama Sisi.

Apa yang kau cari Sisi? "Biar ayah tahu kalau saya sekarang memilih profesi ini. Jual diri," katanya.

Secara sadar Sisi menyatakan harus melacur untuk membalas perlakuan ayahnya yang amat jarang pulang ke rumah saking sibuknya. Namun dia tidak akan mengobral pengakuan kepada sembarang orang, alasannya biar ayahnya tahu secara alamiah dari mulut ke mulut.

Karena itu pula, dia tidak canggung sedikit pun tatkala kepergok wartawan yang juga amat dikenalnya karena kerap datang ke rumahnya di kawasan elite di Malang. Setelah ibunya meninggal pada 1995 lalu, praktis di rumah sudah tidak ada figur panutan lagi. Jawaban Sisi terbilang klasik: korban broken home atau kekisruhan rumah tangga seperti halnya ratusan pelacur ABG lainnya. Sisi merasa tidak ada satu pun orang di rumahnya yang bisa dijadikan tempat berlindung. Ia malah merasa terlindung di dalam dekapan banyak pria yang menyukainya.

Kendati sebagai gadis muda belia yang cantik, Sisi lebih suka berdandan ala kadarnya. Akan tetapi wajah cantiknya tak bisa disembunyikan.

Sebagai pelacur ABG, Sisi semula tergolong laris, namun kemudian banyak ditinggalkan pelanggannya karena dinilai terlalu rewel.

Seorang pria yang cukup terpandang di Malang yang pernah beberapa kali membawa Sisi, mengatakan, "Dia selalu minta cepat pulang. Setelah di-booking pukul 12.00 WIB, pukul 17.00 sudah minta selesai dan cepat-cepat memanggil taksi untuk mengantarkan ke rumahnya."

Pria berusia 45 tahun itu sengaja memilih Sisi karena gadis tersebut datang dari keluarga terpandang, dan sudah menjadi pembicaraan kalangan atas di Malang.

"Saya sengaja memilih Sisi karena alasan prestise. Ternyata setelah saya rasakan, dia banyak permintaan. Soal duit sih, dia tidak banyak tanya," katanya. Disebutkan tarif rata-rata pelacur sekelas Sisi --sebelum dipotong honorarium GM-nya-- Rp 500.000 sekali pakai. Sisi mengaku masih kuliah, "Silakan cek kalau tak percaya," ujarnya sembari menunjukkan KTM (kartu tanda mahasiswa) sebuah perguruan tinggi kesohor di Malang. Teman-temannya di kampus sudah banyak yang mengetahui Sisi menjadi pelacur, "Mereka tidak terlalu peduli. Tidak sedikit teman saya yang seperti saya. Kami saling tahu kelakuan masing-masing," katanya.

Di Malang belakangan ini, memang banyak pelacur ABG yang datang dari kalangan 'atas'. Sedikitnya, saat ini ada 25 ABG dari kalangan etnis Cina. Seorang gadis bermata sipit menceritakan tentang teman-temannya yang terjun ke dunia 'hitam', yang semuanya berasal dari keluarga mampu. "Sebelum ini, ayah saya pengusaha cukup sukses. Entah kenapa tiba-tiba bangkrut," cerita Lani, ketika ditemui di Dieng Plaza. Ia anak seorang pengusaha di Kediri.

Lani mengaku, sejak bisnis ayahnya bangkrut itulah kiriman uang kuliah di PTN terkenal di Malang tersendat-sendat. Terpaksa, Lani harus melayani pria hidung belang. Rupanya, resesi ekonomi yang mendera Indonesia dua tahun terakhir ikut menggelontor kelompok etnis yang selama ini dikenal paling mapan ekonominya. Bagi Lani, profesi inilah yang mampu menyambung napas hidup kuliahnya. Lani mengaku sekali dipakai dia mendapat bagian Rp 250.000. "Yang Rp 50.000 untuk Mami," ungkapnya seraya menunjuk perempuan 40-an tahun yang duduk agak berjauhan.

Tapi tidak gampang menemui ABG di Kota Apel itu. Mereka bergerak secara rapi. Lokasi mangkal ABG --di Malang kerap disebut ayam abu-abu (bagi yang terlihat berseragam SMU) atau ayam kampus (khusus bagi pelacur ABG dari kalangan mahasiswi)-- bisa ditemui di Plaza Dieng, food court Plaza Sarinah, di samping diskotek My Place, Laguna, dan Djoko Tarub Discoteque di kawasan wisata Batu. "Ada pula yang terang-terangan membuka praktek. Mereka bisa ditemui setiap saat di Hotel Royal Inn," ujar seorang GM seraya menyebut beberapa nama hotel. Sisanya, di Hotel Garuda atau penginapan kelas bawah lain, merupakan pelacur profesional berusia 25 hingga 30 tahun. Berbeda dengan ABG di Surabaya yang berani menjajakan diri di tempat terbuka seperti di pinggir jalan --para 'pemakai' menyebutnya sebagai pelacur embongan (jalanan)-- di Malang hanya bisa dijumpai di tempat-tempat keramaian seperti pertokoan atau kawasan tempat nongkrong anak muda. Mereka juga bisa ditemui di karaoke, diskotek, atau kafe.

Mereka memanfaatkan radio panggil (pager) bahkan ponsel (handphone) untuk mempermudah transaksi. Mereka rata-rata bergabung dalam induk semang/mami atau germo (GM). Tempat yang paling terkenal adalah kawasan Tlogomas dan Jl Tirtonadi. Ada satu yang tidak beroperasi lagi yakni yang di Jl Bandung 14.

Di kawasan wisata Batu, mereka bisa ditemui di Jaka Tarub Discoteque di Hotel Purnama. Masyarakat setempat juga mengenali ABG muka lama atau pendatang baru.

Masih di Batu, ada satu lagi Diskotek Fantasia yang pada Jumat, Sabtu, dan Minggu dijejali ABG. Di sekitar dua diskotek tersebut terdapat ratusan vila yang bisa disewa per jam. Bahkan, harga sewa bisa terbilang sangat murah, kecuali Sabtu dan Minggu. Pada hari biasa harga sewa dalam kisaran Rp 25.000 hingga Rp 100.000 per paro hari. Tidak usah ragu-ragu, karena para penjaga vila senantiasa bersikap proaktif. Mereka juga tak jarang berperan ganda sebagai broker (pialang) atau perantara atas permintaan para ABG. "Kalau akhir pekan mahal. Sebab kita sampai menolak permintaan," kata seorang penjaja vila di kawasan Songgoriti Batu. Maklum, mereka kebanjiran 'wisatawan' dari Surabaya dan Jakarta. Dari mana mereka berasal? Pengakuannya bisa macam-macam. Kebanyakan mengaku dari Blitar, Kediri, Surabaya, atau daerah lain di Jatim. Tidak sedikit pula yang berasal dari Kalimantan, Sulawesi, dan belahan Indonesia timur lainnya. Tapi jumlahnya tidak bisa mengalahkan yang berasal dari Malang sendiri.

Yogyakarta – Jawa Tengah
Di Yogyakarta Mereka Disebut 'Ciblek'
CIBLEK. Itu sebutan untuk pelacur ABG di Yogyakarta. Singkatan dari cilikan betah melek.
Rinda, adalah salah satu ciblek yang hampir setiap hari mangkal di sebuah mal kawasan Malioboro. Ia putri seorang dosen sebuah perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta.

Gadis manis satu ini minggat dari rumah orang tuanya karena merasa terlalu dikekang. "Di rumah terlalu banyak larangan. Tidak boleh ini, tidak boleh begitu. Rasanya seperti di penjara," katanya.

Karena itu ia memilih untuk tinggal di rumah kos. "Rasanya lebih bebas. Bisa melakukan apa saja. Pokoknya seenak sayalah," ujarnya sambil tertawa lepas.

Ia sangat menikmati kehidupannya sebagai ciblek "Naik mobil, tidur di hotel, makan di tempat yang mewah, dan sebagainya," katanya.

Kendati melek sampai larut malam, Rinda terbiasa bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Ia sangat pandai menyembunyikan 'profesinya'. Kalaupun kepergok teman sekolah atau tetangganya di mal tersebut, ia tidak terlalu khawatir. Karena di Yogyakarta terlalu banyak anak-anak remaja yang nongkrong di pusat-pusat keramaian seperti itu.

Lalu bagaimana cara Linda menggaet pria hidung belang? "Tidak terlalu susah. Saya tahu dari cara dia melirik. Lalu saya senyum sedikit, dia juga tersenyum. Biasanya kalau pria sudah tersenyum, langsung mendekatkan diri. Ya kemudian jalan," cerita Rinda.

Para ciblek di Yogyakarta memiliki beberapa tempat mangkal. Mereka bisa ditemukan di sebuah mal di kawasan Malioboro, di Jl Perwakilan atau di kawasan Senisono.

Para remaja yang biasa nongkrong di tempat tersebut, menurut Rinda, rata-rata ciblek. Antara pelajar dan mahasiswi, punya kelompok sendiri-sendiri, sehingga tidak saling mengusik.

Untuk mendekati mereka, sebenarnya tidak terlalu gampang, meski tidak sulit. Para ciblek ini biasanya lebih suka diajak berkenalan, makan-makan baru kemudian transaksi.

"Tapi kami bukan pelacur," katanya. Ia menyebut dirinya sebagai gadis remaja yang mencari kesenangan. "Kalau pelacur, kan mau dibawa ke mana saja dan oleh siapa saja yang penting diberi uang," ujarnya.

Tapi Rinda selalu memilih-milih teman kencannya. Dia lebih suka pria yang ganteng dan berpenampilan rapi. "Pria terlalu tua juga saya hindari. Kalau 40 tahun ke bawah okelah. Malu rasanya dengan bapak-bapak. Takut terbayang orang tua sendiri," katanya.

Khusus di kawasan mal, para ciblek bisa ditemukan di kedai makanan atau di dekat WC umum. Sedangkan di kedai kopi yang ada di kawasan itu ditemukan hombreng atau gay yang juga dari kalangan remaja.

Sedangkan di Senisono, kebanyakan adalah ciblek yang berbaur dengan anak-anak jalanan. Sementara di Alun-alun Utara lebih banyak kaum homo. Kawasan lainnya yang mulai marak dengan pelacuran anak-anak adalah Alun-alun Selatan.

Tri, 17 tahun, salah satu ciblek 'penghuni' Alun-alun Selatan. Pengalaman pertamanya melayani pria diperoleh tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Ia tinggal di Yogya Selatan yang pernah menjadi lokalisasi. "Kakek saya memang punya kopel di SG. Ibu saya juga membantu," katanya. SG merupakan sebutan untuk Sanggrahan, kawasan resosialisasi para pelacur di Yogyakarta yang kini telah tergusur untuk pembangunan terminal bus.

Kendati masih sangat belia, Tri cukup pandai memainkan harga jika ada yang menawar. "Kalau mereka tanya ya saya jawab Rp 100.000 sekali main," katanya. Tapi tarif yang dipasang Tri bukanlah harga mati. Biasanya kalau sudah diajak makan atau nonton oleh calon teman kencannya, harga akan turun sampai Rp 25.000.

Soal harga, seorang pria yang sering menjadi perantara ABG di Alun-alun Selatan, mengatakan, harga bisa ditekan serendah mungkin. Bahkan bisa gratis.

Caranya? "Diakrabi dulu, ajak puter-puter, mabuk three in one baru jipan, paling mahal no ban go atau Rp 25.000, sudah bisa di-ebut" kata Zuma, pria muda yang sering menjembatani transaksi ABG itu.

Three in one adalah istilah untuk menyebut mabuk dengan pil, minuman keras, dan sekaligus ganja. Istilah ini sering pula diganti dengan tiga dimensi. Sedangkan ebut istilah untuk hubungan badan.

Setiap malamnya, Tri biasanya mengantongi Rp 15.000. Tapi kalau musim 'panen', penghasilannya bisa berlipat-lipat. Yang dimaksud musim 'panen', bila kegiatan besar di Yogyakarta, baik berskala nasional maupun internasional termasuk kegiatan olahraga, mereka akan mendapat banyak pesanan. "Kalau ada kegiatan seperti ini, kami bisa mendapat Rp 250.000 selama tiga hari," katanya.

Yang biasanya menggunakan 'jasa' mereka pada hari-hari biasa adalah para remaja yang rata-rata memiliki uang saku yang cukup.

Lain lagi cerita Tiyas, yang biasa mangkal di sebuah kafe di Jl Perwakilan jika yang mengajaknya itu orang yang tampak memiliki uang yang cukup banyak, mengggunakan mobil, dan bahkan melengkapi diri dengan handphone serta belum kenal, bisa mematok harga Rp 100.000 sekali main.
"Tapi kalau sudah kenal baik, harga bisa dikorting," katanya. Tapi Tiyas lebih suka berkencan dengan pria yang sudah dikenal alias telah berkali-kali berhubungan dengannya.

Menurut Tiyas yang masih sekolah di sebuah SLTA, berhubungan dengan pria yang belum dikenal terutama anak-anak sekolah atau mahasiswa, lebih banyak susah daripada enaknya.
Seperti yang pernah dialaminya, sejumlah pria remaja mengajaknya ke rumah kost, lalu diajak minum sampai mabuk. Setelah itu dikencani ramai-ramai.

"Sudah itu digabur atau dilepas begitu saja di suatu tempat yang cukup sepi," katanya.
Lokasi yang paling sering dijadikan tempat untuk nggabur adalah Ring Road Selatan, yang relatif sepi dan jauh dari pemukiman penduduk.

Setelah kejadian itu, Tiyas menceritakan kepada teman-temannya. Ternyata pengalaman serupa juga pernah dialami oleh temannya. "Jadi kalau pelajar atau mahasiswa yang datang, siap-siap saja untuk kecewa," katanya.

Bagaimana membedakan pelajar dan mahasiswa dengan pria yang sudah bekerja? "Kalau pelajar atau mahasiswa datangnya rombongan. Kalau yang sudah bekerja, biasanya sendirian," ujarnya.

Karena 'pintu' sudah tertutup untuk mahasiswa dan pelajar, menurut Tiyas, biasanya mereka mengencani pelacur liar yang biasa beroperasi di Alun-alun Utara.

'Ciblek Lanang' Melayani Wanita Kesepian

CIBLEK lanang. Sebutan untuk ABG pria yang menjual diri di Yogyakarta. Seperti juga gadis remaja, mereka juga anak sekolah dan punya tempat mangkal sendiri-sendiri.

Mereka bersedia melayani siapa saja, pria homo atau wanita kesepian. Ciblek lanang yang rata-rata pelajar SLTA dan mahasiswa, juga banyak mangkal di mal dan pusat-pusat keramaian lainnya.

"Banyak pelancong wanita yang kesepian. Ya, mereka mencari kami untuk menemaninya jalan-jalan dan tidur di hotel," kata Koko, ciblek yang sekolah di sebuah SMU di Yogyakarta itu menjelaskan. Pelancong wanita yang sering menggunakan 'jasa' mereka kebanyakan datang dari Jakarta.

Wanita 'pemburu' ciblek lanang rata-rata berusia muda. "Ada juga berumur 40 tahun. Dan sepertinya mereka sudah bersuami. Tapi soal itu kami tidak pernah tanyakan kepada mereka," kata Koko.

Selain melayani pelancong, Koko juga kerap menemani para mahasiswi di rumah-rumah kontrakan atau kamar kos. "Bila melayani mahasiswi, saya sering diminta memakai kondom," ujarnya.

"Tapi kalau dengan pelancong, jarang pakai kondom. Saya tidak tahu, mereka suka polos," ujarnya.

Tarifnya? Untuk mahasiswa rata-rata Rp 25.000. Paling rendah Rp 15.000, "Tapi Rp 10.000 juga jadi kalau ceweknya cantik," kata Koko. Sedangkan untuk pelancong wanita, Koko memasang tarif Rp 50.000 sampai Rp 100.000.

Ciblek lanang tampil sebagai 'pemain AC DC'. Selain melayani wanita, juga melayani pria homo.
Bila 'menjaring' pria homo, mereka mencari mangsa di Alun-alun Utara dan di sebuah restoran di Jl Pasar Kembang. Mereka lebih luka dibawa pria bule.
"Orang bule itu tidak pelit,'' kata Koko. Ia menjelaskan, para bule kebanyakan 'mengencani' mereka relatif cukup lama. ''Kalau mereka di Indonesia seminggu, kami dipakai seminggu pula. Tidak jarang diajak ke mana-mana,'' ujarnya.

Koko, pria kelahiran Semarang itu, menjelaskan untuk aktivitas seksualnya dengan para homo selain sodomi juga oral seks. Bahkan tidak jarang '69'. Istilah ini untuk menyebut melakukan oral seks secara berbarengan.

Kendati lebih menyukai pria bule, mereka juga sering mendapat 'order' dari pria lokal. Dari para homo, biasanya mendapat uang saku antara Rp 50.000 - Rp 150.000 serta ditambah ajakan makan di restoran serta menikmati udara luar kota.

Para ciblek lanang ini pada dasarnya terbagi dua jenis. Koko menjelaskan, ada satu kelompok homo yang berperan dirinya sebagai wanita, namun ada yang berperan sebagai pria. Yang sebagai wanita, ujar Koko, tidak harus berdandan seperti wanita, tetapi kegenitannya memang seperti wanita, dan mencari pasangan yang gagah. Sedangkan yang berposisi sebagai pria tentu akan mencari yang genit-genit.

Kenapa Koko bisa menyukai pria sekaligus wanita? Sejak kecil dirinya memang sudah menyukai sesama jenis. ''Saat saya sekolah di Yogyakarta ini, rekan duduk sebangku saya kebetulan hombreng. Dia yang mengajak saya mengenal dunia yang lebih luas. Tapi sebagai laki-laki saya juga sangat tertarik kepada wanita,'' katanya.

Lain lagi cerita Dedy, pria yang sering mangkal di sebuah kafe di Jl Pasar Kembang. Putra seorang perwira menengah di Jakarta yang kini sedang menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta mengaku melayani pria homo hanya kesenangan semata.
Dedy 'menjajakan' dijalani sejak berada di Yogyakarta. Meski demikian, Dedy mengaku kenal dengan kehidupan homoseksual sejak masih duduk di SLTP. Saat itu, katanya, ia sering diberi uang dan diajak ke tempat-tempat permainan anak-anak oleh tetangganya. ''Ini saat papah masih dinas di Surabaya,'' katanya. Oleh tetangganya inilah, Dedy mendapat kenikmatan homoseksual dan itu keterusan.

Lalu kenapa menjual diri? Dedy menjelaskan, semula memang tidak sengaja. Saat bersama-sama dengan rekan-rekan, ia sempat diajak 'main' oleh kenalan barunya. ''Bahkan saya jadi pacarnya selama beberapa bulan,'' katanya.

Setelah putus dengan 'pacarnya' itulah, Dedy merasa kecewa dan bersamaan pula dengan makin seretnya kiriman dari orangtua, terpaksa mencari tambahan biaya. "Biaya kuliah serta bahan-bahan praktek sekarang harganya sangat mahal," katanya.

Melayani pria homo, jelasnya memang bukan tujuan utama. Karenanya, katanya, tarif yang dipasang pun tidak selalu disodorkan. "Kalau saya mau melayani dan dia juga baik, kenapa harus pasang harga. Biasanya mereka tahu dan memberi tips setelah main," katanya.

Pendapatannya memang tidak tinggi, rata-rata per bulan sebesar Rp 750.000 sesudah dikurangi biaya obat-obatan yang diperlukan. Ia sendiri mengaku tidak terlalu suka dengan orang-orang bule. Alasannya? Para bule agak kasar.

Seperti halnya Koko, ciblek lanang lainnya, Andi yang mengaku berasal dari Cirebon melayani pria homo sudah sekitar tiga tahun. Katanya, melayani para bule lebih mengasyikkan. Apalagi, dua tahun lalu sempat diajak jalan-jalan ke Swiss oleh pasangan bulenya, sekadar untuk menikmati liburan.

Orang-orang bule, lanjutnya, biasanya mengajak main dengan sepenuh hati. Artinya, mereka menikmati dan menjalani kehidupan seksualnya 'sangat manusiawi'. "Pakai foreplay, cium-ciuman, sebelum main. Bahkan setelah main, mereka masih peduli. Beda dengan orang kita sendiri yang maunya langsung, habis itu pisah," katanya.

Bersama-sama orang bule ini, ucapnya, biasanya selama mereka berada di Yogya akan menjadi pasangan tetapnya. Bahkan tidak jarang harus menemani ke obyek-obyek wisata yang menarik.
"Memang tidak ada tarif yang ditawarkan, tetapi orang bule ini senang menghambur-hamburkan uang. Seminggu bersama mereka bisa meraih uang kontan US$100 atau bahkan lebih, belum termasuk hadiah khusus seperti pakaian, jam tangan dan sebagainya," katanya.

Berbeda lagi dengan Daniel. Pria keturunan kelahiran Medan ini dengan tegas mengungkapkan, jika mau meong harus bayar. Meong merupakan istilah di kalangan mereka untuk bermain seks. Baik itu anal maupun oral atau sekadar 'GGK' atau gesek-gesek kelamin.

Daniel yang masih duduk di sebuah SMU swasta di Kota Yogyakarta mengungkapkan, untuk sekali ajak yang biasanya dari malam sampai pagi, biasanya ia mendapatkan Rp 150.000.

Semarang – Jawa Tengah
Yang Kelas Kumuh dan Kelas Mewah
KETIKA berusia 10 tahun, tujuh tahun lalu, Noni sudah mulai mengenal pria. Saat itu ia disuruh 'turun ke jalan' di Semarang oleh ibu kandungnya, mengikuti jejak kakak perempuannya.

"Kami diharuskan menyetor sejumlah uang setiap hari," cerita Noni mengenang masa lalunya. Tidak terlalu membekas dalam ingatannya, bagaimana pertama kali ia bergaul dengan pria.

"Sungguh, saya tidak ingat. Yang saya tidak bisa lupa adalah ibu marah-marah ketika saya pulang tidak membawa uang," ujarnya. Ia sering kali disiksa, dipukul dengan gagang sapu, dan diseret keluar dari rumah karena pulang tanpa hasil.

Karena kenyang pengalaman di lapangan, saat ini Noni menjadi 'bos' sejumlah ABG di Semarang. Oleh anak buahnya ia dipanggil dengan sebuatn 'mami'. Sebagai 'mami' muda, Noni juga melayani bila ada pria yang mengajak.

"Biasanya saya tawarkan anak-anak. Tapi sering kali pria memaksa agar saya yang menemaninya, ya, terpaksa untuk menyenangkan pelanggan," ujarnya. ABG yang menjadi anak buah Noni tidak mangkal di mal atau di tempat-tempat hiburan seperti klub malam, karaoke, atau diskotek, mereka berkeluyuran di jalan-jalan.

Noni yang berwajah sensual ini gampang dijumpai di seputar Jalan Pahlawan, atau bisa menghubungi melalui handphone.

Kalau ada konsumen yang memesan, harganya bervariasi antara Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Yang tarif Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu juga disediakan oleh Noni.

Salah satu anak 'asuhnya' yang tergolong paling imut-imut adalah Wati, 12 tahun. Menurut gadis yang masih 'bau kencur' ini, dunia pelacuran dianggapnya lebih dapat memberikan hasil yang lebih besar dan lebih cepat, dibandingkan jika dirinya harus ngamen atau berjualan koran.
Sudah dua tahun Wati berada di 'kegelapan malam'.

Awalnya, dalam usia l0 tahun, ia diperkosa tetangganya saat ia sedang tidur siang. Ketika kasus itu disampaikan kepada ibunya, Wati justru dimarahi habis-habisan. Belakangan baru diketahui, bahwa ternyata ibunya menerima imbalan sejumlah uang dari tetangganya itu.

Mulai saat itulah, Wati turun ke jalanan. Oleh teman-temannya yang dikenali di jalanan, diberi tahu bahwa cara paling gampang untuk mendapat uang adalah bersedia melayani laki-laki. Dan ternyata betul, baru beberapa hari 'berkeliaran' di jalan, Wati sudah mampu membeli pakaian bagus, kosmetik, serta seabrek kebutuhannya layaknya gadis-gadis belia. Bahkan ia sering kali diajak nonton, pergi ke diskotek.

Gaya hidup ternyata menjadi faktor utama yang mendorong menjamurnya pelacuran ABG di Semarang.

ABG-ABG kelas bawah bisa ditemui di daerah permukiman kaum urban atau daerah miskin seperti Bandarharjo, Gunung Brintik, Tandang, Mrican, dan berbagai perkampungan kumuh lainnya.

ABG jalanan di Semarang memang agak berbeda dengan ABG yang berada di 'kelas atas'. Keinginannya untuk mencicipi gemerlapnya kehidupan malam adalah penyebab utama mereka menjual diri. Mereka bisa ditemui di sejumlah diskotek dan tempat hiburan lainnya.

Mereka tidak semata mencari uang, diajak 'muter-muter' naik mobil mewah, sudah bisa dibawa masuk kamar. Penampilan mereka memang cukup mendebarkan, mengenakan busana trendy beserta segala aksesoris, sepatu bermerek, parfum impor, dan handphone.

Mereka juga bisa digaet dengan sebutir pil ekstasi, "Asal diberi sebutir pil, saya bersedia melanjutkan acara ke hotel,'' tutur Titin. Gadis 17 tahun yang sudah biasa keluar-masuk diskotek itu, mengaku orang tuanya tidak terlalu peduli dengan kebiasaannya pulang malam.

Gadis berambut pendek dengan alis mata tebal itu mengakui tak sembarangan memilih pasangan kencannya. Dia juga tidak memasang jerat di plaza, mal, atau pusat-pusat pertokoan layaknya teman-temannya. Maklum, dia sudah cukup lama terjun menjajakan dirinya. Sehingga tahu persis lelaki yang berkantong padat atau sebaliknya.

Hasrat Titin untuk menelan pil, katanya, dilakukan karena ia ingin melupakan berbagai persoalan yang ada di rumah. Dalam usia 15 tahun Titin yang hidupnya serbakekurangan itu telah dikawinkan oleh orang tuanya. Tetapi karena perkawinan itu sendiri memang bukan kehendaknya, maka ketika melahirkan anak pertamanya Titin langsung minta cerai.

Dalam kondisi mental yang labil, secara kebetulan seorang tetangganya mengajaknya 'dolan-dolan' ke sebuah diskotek di Jl Gajahmada, Semarang. ''Di situlah pertama kali saya mengenal inex, dan pertama kali pula saya menerima tamu lelaki di hotel. Lumayan juga, diberi uang saku Rp 150.000,'' kenangnya.

Keenakan dengan inex, mulailah Titin menjadi kecanduan obat. Bahkan di lingkungan dunia malam ia dikenal sebagai pecandu berat.

Secara terbuka Titin mengakui, kini dia bahkan sudah mencapai dosis yang berlebihan. Sebutir pil tak lagi mempan membuatnya jadi on. Dia kini sudah mulai bermain-main dengan jenis sabu-sabu yang juga banyak dijual bebas di Semarang.
Rasanya? ''Oh, lebih nikmat dan lebih panjang. Apalagi kalau digunakan untuk bercinta, luar biasa,'' ujarnya mengaku terus terang.

Setiap malam dia biasa melayani tamunya dua orang di sebuah kamar hotel di kawasan Gombel. Tak merasa capai? Dengan mata berbinar Titin justru memaparkan fantasi seksual yang sangat luar biasa. "Karena itu, pada tamu-tamu tertentu saya menyimpan nomor handphone-nya,'' ucapnya genit.

Lain lagi dengan Ina, 16 tahun, yang juga sangat menyukai dunia malam. Tetapi tidak gampang untuk diajak chek in ke hotel. "Yang saya lakukan hanya untuk menemani tamu. Kalau menemani tamu biasanya saya mendapatkan tips, selain minum-minuman yang enak. Tetapi kalau tamunya mau cari booking-an, saya carikan teman lain yang mau. Biasanya setelah itu saya diberi uang lagi oleh tamunya,'' ujar Ina.

Dari pengakuannya Ina memang cukup selektif memilih cowok pasangannya. Selain masih sebaya dan sama-sama muda, syarat yang lain juga harus naik mobil sendiri. "Kalau tidak selera lebih baik pulang tidur saja Mas," ujarnya.

Ina mengaku kurang menyukai lelaki yang jauh lebih tua dari usianya. Alasannya, karena dia masih menyukai cara-cara berpacaran dibandingkan dengan 'jual-beli'. Karena itulah, ia tidak pasang tarif tertentu. "Asal saya suka, cukup sekadar ongkos taksi saja,'' katanya.

Pelacur ABG di Semarang juga disebut ciblek. Selain di diskotek, para pelacur ABG ini juga banyak ditemui di kafe-kafe atau kedai-kedai lesehan kawasan Simpang Lima, Jl Pahlawan, Jl Pemuda atau Jl Pandanaran. Mereka biasanya selalu bergerombol dua-tiga orang, sambil minum minuman hangat.



Artikel yang bikin Konti Tegang Lain-nya:

Widget by [ Iptek-4u ]